Selasa, 30 Oktober 2012

Kata Mereka Tentang Novel "Tell Your Father that I am a Moslem

Pilo Poly Cendolers :

|

Cinta memang memiliki ruang khusus disetiap hati yang merasakannya. Seperti lumut yang tak pernah lelah menjadi pendamping batu-bata yang lembab. Atau dinding-dinding sumur yang menua.

Seperti itu juga cinta seorang Maryam dan David dalam Novel Tell Your Father that I am a Moslem. Mereka - Maryam dan David memilik keyakinan berbeda. Maryam Seorang anak Pejabat Uni Emirat Arab Muslim, sedangkan David seorang anak asuh salah satu Gereja di Amerika., tapi ketika cinta sudah bicara, apapun akan terjadi. Ia bagaikan seorang yang dahaga panjang, terus mencari, terus mencari titik air itu. Kemana pun ia akan tuju.

Tanpa digurui, Novel Bang Hengki Kumayandi ini, salah satu Mahasiswa di Negeri Jiran Malaysia, mengajak kita untuk menelisik kembali, arti kesempurnaan cinta sebenarnya. Tak ada keterpaksaan. Ia adalah kesejatian yang sempurna. Dan, bagi yang suka baca novel, aku sarankan novel ini.


Ayhesa Chantheeque :

Hiks hiks... Kak Hengki harus tanggung jawab nih, tadi langsung download versi Pdf-nya, dan baca sampai tuntas, aku tuh lagi flu malah dibikin mewek di bab-bab terakhirnya. Dave-Maryam ... Hwaaaaak Meleeeeer ...!



Ni Ketut Tini Sri :

Wah... baru selesai nih baca novelnya Mas Hengki. Tell Your Father that I am a Moslem. Top abis! Sanggup menderaikan (mungkin) lima liter air mata yang terus mengucur saat Tini menulis disini. Satu pelajaran penting yang Tini dapat petik dari karya mas Hengki.... Kecintaan terhadap Tuhan akan membuahkan rasa yang manis pada akhirnya. Meskipun andai sebaliknya yang terjadi di atas semua persoalan kehidupan, Tuhan masih menyayangi kita, umatnya. Thanks a lot... memberi Tini begitu banyak pencerahan dalam alur cerita ini. Secara pernah mengalaminya juga :D
Btw mau dong baca karya yang lainnya :D (ngareep)



DyyCha Dyyah AtyyCha :

24 Oktober pukul 14:05 · 

Membaca Novel Tell Your Father That I’m Moslem (Salah satu E-book PNBB ke 26) yang sengaja saya download dari perpustaan On-line... Pertama saya kira cerita ini biasanya, yaitu tentang cinta para remaja. Tetapi, setelah menelisiknya lebih dalam, ternyata jauh dari apa yang saya kira. Kisah yang mengharukan. Membuat saya menangis tersedu-sedu dan sempat berulang beberapa kali di bagian akhir cerita. Meskipun alurnya sederhana, tapi Kak Hengky berhasil membawa saya mengarungi setiap babak dan merasakan masalah yang dihadapai Maryam dan Dave.
Cinta antara dua keyakinan. Membutuhkan pengorbanan yang sangat besar untuk itu. David, itulah tokoh yang saya kagumi atas kegigihan dan kesabarannya untuk meluluhkan hati Maryam. Memegang teguh ajaran agama masing-masing. Kak Hengki berhasil membuat setiap karakter tokoh menjadi hidup. Imajinasi yang hebat...
Satu lagi, Kak.. Alangkah lebih indah jika settingnya lebih diperjelas dan dipertajam...
Maaf, Kak Hengki.. Itulah pendapatnya saya. Secara keseluruhan novel ini benar-benar membuat air mata saya terkuras habis. Sampai teman sebangku saya terkejut melihat saya menangis beberapa kali... Akhirnya, teman saya tertarik untuk membacanya juga.
Alhasil, kami berdua saling berlomba untuk menesteskan air mata. Alias selalu berlinang air mata ketika membacanya.. (^_^).

Kutunggu untuk novel selanjutnya, Kak....
Terima kasih... (>,<)... :-)



Mayoko Aiko :
|
Apik!
Wajib download.



Nilam Nahariah :

subhanallah... keren :)



Hasudungan Rudy Yanto Sitohang :

Selamat broo Hengki Kumayandi...berani mengangkat tema ini, jangankan di amerika, di negeri kita saja demarkasi SARA juga sangat-sangat kental...Masyarakat kita belum bisa dan terbiasa menerima perbedaan terutama untuk keyakinana yang berbeda, apalagi dikaitkan atas nama cinta. Amerika masih lebih liberal dalam masalah pilihan keyakinan, sedangkan di negeri ini masih belum...


Rini MOy Stefanie :

Sudah saya miliki dan telah selesai membaca novel ini dalam versi digitalnya. Terima kasih bang Hengki Kumayandi. Ini sangat apik! ^_^


Pilo Poly Cendolers :
|
Pertama kali aku lihat postingan bang Hengky tentang novel digital ini, aku langsung download sesuai saran beliau. Lantas apa yang terjadi? Aku tak dapat berhenti pada satu titik tertentu. Keinginan bacaku terus dipacu. Apalagi bang henky mengangkat tema percintaan yang begitu dalam. Tanpa merasa didikte, novel ini sudah pantas sekali untuk dibukukan. Dan menjadi novel rekomendasi.


Rashashi Ihsani Redian :

Novel dengan tema antipati Islam yang tengah merebak di negeri Paman Sam selalu menarik minatku, seting lokal di negeri tempat dimana demarkasi SARA begitu kental dalam kultur sosial masyarakatnya.sama dengan novelku yang sudah rampung namun belum diterbitkan penerbit.meski tetap beda plot dan konfliknya,salut untuk karyanya mas hengki:)


Jang Shan :

Tell Your Father that I am a Moslem
A Novel By Hengki Kumayandi
“Jika kau berjanji tak akan pernah menyentuh aku dan menghargai aku sebagai wanita muslim. Aku mau jadi kekasihmu, karena aku juga sayang padamu.”ucap Maryam tanpa berpikir panjang lagi, ia sangat mencintai remaja ini.
“Panggil aku Dave atau David, nama lengkapku David Stuart, anak dari seorang Pastur di gereja terbesar di kota ini. Dan satu lagi, aku bersedia tak akan menyentuhmu selama menjadi kekasihmu.”
***
Apa yang tergambar dalam benak Anda tentang Cinta? Apa itu cinta? Cinta, yang membuat Anda di bayangi wajahnya, yang membuat hati anda berdegup hebat saat bertatapan dengannya, yang bisa membuat Anda sakit, yang membuat Anda senang berada di sisinya, yang membuat Anda sedih, kalut, gelisah.
Lalu bagaimana dengan Cinta dari dua insan yang berbeda keyakinan? Haruskah hubungan itu berlanjut? Sementara keduanya sangat mengimani agama masing-masing. Itulah yang di alami Maryam, seorang gadis Muslimah yang shalehah, anak dari seorang Duta Besar Uni Emirat Arab untuk wilayah New York. Awalnya Maryam tak ingin ikut, dia hanya ingin tetap sekolah di Dubai. Namun sang ayah tak mau jauh dari anak satu-satunya, maka Maryam tak bisa menolak. Setelah kepergian kakak Maryam, Asiyah beberapa tahun lalu. Karena depresi berat soal Cinta, Asiyah bunuh diri. Dan itu membuat ayahnya tak mau lagi kehilangan anaknya karena keegoisan dirinya sendiri.
Maryam di sekolahkan di High School yang mayoritasnya Non Muslim. Bahkan mereka menyebut Maryam adalah teroris. Sampai seisi kelas hanya ada Isti Maryam
saja, murid lain tak mau di sekolahnya ada teroris.
Pria bermata biru, berkulit putih dan berambut pirang ikal itu adalah seorang anak Pastur. Rushel Marthin sang pastur menemukan seorang bayi laki-laki di depan gereja. David itulah nama yang di berikan Rushel. Meski David bukan anak kandungnya, bagi Rushel David adalah segalanya.
Seorang teman David bernama Jardon, mengabari David bahwa di sekolahnya ada seorang murid teroris. Sontak membuat David penasaran ingin melihat langsung seseorang yang di ceritakan temannya.
Setelah David keluar dari rumah sakit, ia langsung semangat pergi ke sekolah. Ia ingin cepat-cepat membantu teman-temannya untuk mengusir teroris itu.
“There she is, Dave. (itu dia, Dave)” Jardon berujar sambil menoleh kea rah Maryam, David pun ikut menoleh kea rah Maryam.
David terperangah, sosok wanita berwajah cerah it uterus menunduk. Matanya yang bening biru, hidungnya yang mancung, serta alisnya yang tebal dan menyatu membuat David terpaku.
“Are you sure that is a teririst, Jardon? (apa kau yakin bahwa dia seorang teroris, Jardon)”
“You don’t believe me, Dave? Look at her big veil, somday you’ll see her concealing bomb over her veil. (Kau tidak percaya, Dave? Lihat jilbab besarnya? Suatu saat kau akan melihatnya menyembunyikan bom di balik bajunya.
Hanya Dave yang percaya bahwa Maryam bukan teroris, hanya seorang siswi Muslim. Dave mulai merasakan getaran aneh saat pertama melihat Maryam. Dave membela Maryam di depat murid lain, dan itu membuat Maryam merasa tenang karena ada teman yang mendukungnya. Entah apa yang David rasakan sehingga ia berubah pikiran untuk tidak ikut campur dengan pernyataan teruris yang di tuduhkan Jardon pada Maryam. Bagi David , wajah secerah itu tak mungkin ada niat jahat untuk menghancurkan sekolah dengan bom.
Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka, semakin dalam cinta itu. Di sebuah Halte mareka berlari , saling mendatangi satu sama lain. Maryam tak percaya ia bisa melakukan itu. Tepat 10 senti saling berhadapan, mata Maryam berair.david ingin lebih mendekat lagi dan bersiap-siap dalam posisi ingin memeluk Maryam.
“Jika kau memelukku, maka butuh waktu empat puluh tahun bagi Tuhanku untuk mengampuniku.biarkan kita sedekat ini. Hanya sebatas ini,” ucap Maryam sambil menangis tak tahan menahan rindunya. Ia ingin melepas kerinduannya, namun ia masih ingin menjaga kesuciannya.
“Aku… Aku selalu memikirkanmu… Entahlah.” Agak gugup David mengatakannya.
Maryam terdiam. Mereka sama-sama diam, tak mampu mengatakan perasaan mereka masing-masing.
“Astagfirullah…. Astagfirullah…” bisik hati Maryam sambil terisak-isak.
“Are you crying?” Ucap David lalu mengeluarkan sapu tangannya. Ketika ia hendak menghapus air mata Maryam, Maryam menolak.
“Don’t touch me!” Maryam berbalik tak mau mengatakan perasaannya kepada David. Ia berjalan meninggalkan David.
“Aku mencintaimu. Apakah juga butuh waktu empat puluh tahun bagi Tuhanmu untuk mengampunimu, jika aku mencintaimu?” Tanya David sambil meneteskan air mata.
“My name is Maryam. Call me Maryam!” ucap Maryam terhenti masih membelakanginya. Ia sangat terkejut mendengar pengakuan cinta dari David, dadanya bergetar. Untuk pertama kalinya dia mendengar kata itu selama hidupnya .
“Answer my question, I wanna be your boyfriend and honestly. I’ve never felt this way before, please. Say something, Maryam!”
Maryam berbalik, lalu mengangkat wajahnya dan memandangi wajah David dengan seksama.
“Jika kau berjanji tak akan pernah menyentuh aku dan menghargai aku sebagai wanita muslim. Aku mau jadi kekasihmu, karena aku juga sayang padamu.”ucap Maryam tanpa berpikir panjang lagi, ia sangat mencintai remaja ini.
“Panggil aku Dave atau David, nama lengkapku David Stuart, anak dari seorang Pastur di gereja terbesar di kota ini. Dan satu lagi, aku bersedia tak akan menyentuhmu selama menjadi kekasihmu.”

***
Perjalanan cinta antara Maryam dan Dave semakin pelik. Kendala terbesarnya adalah tentang keyakinan yang di anut oleh mereka berbeda. Itulah yang membuat orang tua keduanya tak mengizinkan. Dan berusaha memisahkan mereka.
“Maryam…”
Maryam berbalik menghadap kea rah David seraya menunduk.
“Peluk aku!”
David terbelalak.
“Apa? Kau kenapa?” david terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya.
“Peluk aku sekarang, Dave! Aku ingin berada di pelukanmu, Dave, biar aku tenang…”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau melakukannya karena butuh empat puluh tahun bagi Tuhanmu untuk mengampunimu. Bukankah kau sendiri yang bilang seperti itu padaku, Maryam?” sejujurnya hati kecil David pun menginginkannya, tapi ia ingat betul apa yang pernah di ucapkan gadisnya itu.
“Ini terakhir kalinya waktu yang tersisa bagi kita untuk saling mencintai, Dave. Setelah ini kau harus melupakanku. Aku ingin terakhir kalinya kau menyentuhku, sebab aku ingin menyudahi hubungan ini. Selamanya. Meski harus empat puluh tahun bagi Tuhanku untuk mengampuniku.” Teriak Maryam…….


Bagaimanakah kisah selanjutnya? hanya bisa Anda tau di Novel karya Hengki Kumayandi berjudul ' Tell Your Father that I am a Moslem '
Menurut saya kisah cinta ini sangat mengharukan, lalu sampai di ending baru lega.... sebuah Hidayah. Novel yang keren. semoga Novel ini segera terbit. Sukses mas Hengki. maaf Resensiku gak bagus. Terimakasih..


Jang Shan :D 

Minggu, 11 September 2011

(Cerpen) Cinta kakek duda pada nenek janda

Umur kakek Jhoni hampir Tujuh puluh tahun, hidup sebatang kara dirumah tua yang sederhana, Lima tahun dia hidup sendiri semenjak istrinya meninggal dan ketujuh anak laki-laki nya berpencar keseantero negeri hidup menjauh berkeluarga bersama istri-istrinya, berkali-kali kakek Jhoni dipaksa anak-anaknya diluar kota untuk tinggal bersama mereka namun kakek Jhoni menolak, ia enggan pindah dirumah tua yang penuh dengan kenangan itu, ia memaksakan dirinya untuk tinggal sendirian dan mengurus dirinya sendiri.ini juga dikarenakan kakek Jhoni tak mau merepotkan, apalagi harus tinggal bersama memantu yang belum tentu baik.

Setiap hari kakek Jhoni menghabiskan sisa hidupnya beribadah, nonton TV dan duduk berlama-lama diteras rumahnya. tak ada yang menarik dalam hidupnya, kadang ia tertawa sendiri melihat seorang nenek bernama Ifah yang senasib dengannya, nenek Ifah tinggal berhadapan rumah dengannya, setiap pagi mulai jam sembilan sampai Zhuhur tiba kakek Jhoni selalu melihat nenek Ifah duduk-duduk diteras rumahnya, kakek Jhoni tak pernah menyapanya begitupun nenek Ifah, mereka saling cuek semenjak mereka masih kecil dulu sampai sudah kakek nenek sekarang ini.

Padahal sewaktu kecil kakek Jhoni pernah menaruh hati pada nenek Ifah, namun setiap kali mereka bertemu selalu saja saling cuek dan saling benci, nenek Ifah sewaktu kecilnya sering membuat kakek Jhoni kesal begitupun nenek Ifah. padahal kakek Jhoni waktu remajanya sangat menyayangi nenek Ifah, namun setelah lulus SMA kakek Jhoni kuliah di Kairo, ia berniat untuk minta maaf setelah selesai pulang kuliah dan berniat ingin meminang nenek Ifah, tapi sayang setelah kakek Jhoni tamat kuliah dan pulang ke Jakarta, ia melihat nenek Ifah sudah menikah, semenjak itu kakek Jhoni membuang jauh-jauh rasa itu dan menikah dengan gadis lain.

Dan sekarang mereka memiliki nasib yang sama, kakek Jhoni menjadi duda dan nenek Ifah menjadi janda, berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, setiap jam sembilan pagi sampai jam dua belas mereka selalu duduk-duduk diteras masing-masing, saling lihat namun selama itu pulah mereka tak pernah saling menyapa, kakek Jhoni sibuk dengan cerutunya dan nenek Ifah sibuk dengan sulamannya.

Dan pagi itu, nenek Ifah memandangi teras rumah kakek Jhoni, ia terkejut melihat kakek Jhoni tidak duduk-duduk diterasnya, biasanya kakek Jhoni tak pernah absen, sehari, dua hari, tiga hari sampai seminggu nenek Ifah tidak melihat kakek Jhoni keluar rumah lagi, nenek Ifah penasaran, ia langkahkan kakinya untuk berkunjung kerumah kakek Jhoni, ia ketuk pintu rumahnya.

"Assalamualaikum... Jhon... Jhon..." Panggil nenek Ifah dengan suara yang lemah. berkali-kali ia memanggil namun kakek Jhoni tak menyahut-nyahut. nenek Ifah menempelkan telinganya didaun pintu, berharap bisa mendengarkan suara aktivitas kakek Jhoni didalam. nenek Ifah hanya mendengar suara batuk-batuk. nenek ifah mencoba membuka pintu, ternyata tak ditutup, nenek Ifah langsung masuk, ia terkejut saat melihat isi rumahnya berantakan.

"Jhon... Jhon..." Panggil nenek Ifah lagi. suara batuk dari dalam kamar terdengar cukup keras, nenek Ifah cepat-cepat kearah kamar depan.

"Astaghfirullah Jhon...." Ucap nenek Ifah saat melihat kakek Jhoni yang terbaring lemah dan melihat sedikit darah yang keluar dari mulutnya, dengan sigap nenek Ifah menelpon ambulance, nenek Ifah membawa kakek Jhoni kerumah sakit.

****

Tiba-tiba kakek Jhoni tersadar.

"Dimana aku..." Ucap kakek Jhoni lemah saat ia melihat wajah nenek Ifah tersenyum.

"Dirumah sakit..." Jawab nenek Ifah.

"Terima kasih sudah membawaku kesini..."

"Saya penasaran kenapa kakek Jhoni nggak duduk-duduk diteras lagi, biasanya nggak pernah absen, eh pas saya ketuk ternyata pintu nggak dikonci, saya masuk aja, saya melihat kakek Jhoni sedang sakit... sudah dikasih tahu sama anak-anak bahwa kakek sakit?" Tanya nenek Ifah.

"Tak usah..." Jawab kakek Jhoni.

"kenapa?" Tanya nenek Ifah.

"Mereka pasti sibuk, dikasih tahu juga tak akan bisa pulang..." Ucap kakek Jhoni sedih.

"Sama seperti saya, semua anak saya yang merantau jauh kenegeri orang tak pernah mau pulang lagi, lebaranpun banyak alasan..." Ucap nenek Ifah juga bersedih.

Mereka sama-sama diam.

"Tapi saya punya teman sekarang." Ucap kakek Jhoni.

"Siapa?" Tanya nenek Ifah penasaran.

"Nenek Ifah..." Ucap kakek Jhoni sambil tersenyum.

Nenek Ifah langsung tersenyum juga. " Bisa aja..."

Setelah berhari-hari nenek Ifah menjaga kakek Jhoni dirumah sakit, akhirnya kakek Jhoni pulang, untuk uang kiriman dari anak-anaknya masih banyak disimpan, kakek Jhoni bisa membayar uang rumah sakit dengan aman. nenek Ifah mengantarkan kakek Jhoni kerumahnya, kakek Jhoni terkejut saat melihat rumahnya sangat rapih, air mata kakek Jhoni menetes.

"Terima kasih sudah mau merapikan rumahku, semenjak kepergian istriku dan perginya anak-anakku bekerja dan berkeluarga diluar kota aku sama sekali tak mengerti cara merawat rumah..." ucap kakek Jhoni pada nenek Ifah.

"Yasudah, sekarang kakek istirahat, nanti kubuatkan bubur dirumah..." Ucap nenek Ifah.

"Terimakasih..." Ucap kakek Jhoni sedih.

Nenek Ifahpun pulang kerumahnya, kakek Jhoni menangis memandangi photo anak-anaknya dan almarhumah istri kesayangannya, ia baru menyadari bahwa ia kesepian. namun kini ia punya teman, nenek Ifah yang selalu mengantarkan makanan dan membersihkan rumahnya tanpa sepengetahuan kakek Jhoni. pagi itu, kakek Jhoni ingin mengucapkan rasa terima kasih pada nenek Ifah, ia memakai jas kemeja bagus dan celana dasar, ia mengetuk rumah nenek Ifah, nenek Ifah terkejut melihat kedatangan kakek Jhoni.

"Mau ikut kakek jalan-jalan?" Tawar kakek Jhoni.

Nenek tersenyum malu. " Kita udah tua mau ajak saya jalan-jalan kemana?" Ucap nenek Ifah.

"Dari pada kita sama-sama bete dirumah mending keliling Jakarta. Mau?" Tawar kakek Jhoni sekali lagi.

"Tunggu sebentar..." Ucap nenek Ifah, kakek duduk-duduk saja diluar menunggu nenek Ifah keluar.

Kakek Jhoni terkejut saat melihat nenek Ifah dandan rapih.

"Saya siap dibawa kemana aja, asal pulangnya jangan kemalaman..." Ucap nenek Ifah.

"Hahahaha... kayak ABG aja ya kita..." Ucap kakek Jhoni sambil tertawa.

Merekapun menyewa Bemo seharian keliling jakarta, melihat monas, gedung-gedung, taman kota dan berakhir disebuah taman Barito didekat Blok M. kakek Ifah membeli sebotol minuman untuk nenek Ifah. remaja-remaja ditaman itu melihat kakek nenek itu dengan senyum, keakraban mereka kebaikan kakek memperhatikan nenek Ifah membuat semuanya iri, apa lagi ketika kakek membelikan nenek Ifah kacang rebus dan mengupaskan kacang itu buat nenek Ifah.

Malam-malam mereka pulang, kakek Jhoni mengantarkan nenek Ifah kedepan rumah nenek Ifah. semalaman kakek Jhoni tak bisa tidur begitupun nenek Ifah, mereka sama-sama saling memikirkan, mereka kini merasa sedikit bahagia tak lagi kesepian dan merasa punya teman walau jauh dari anak dan cucu.

beberapa hari kemudian kakek Jhoni mengajak nenek jalan-jalan lagi, kali ini mereka ke ancol. nenek Ifah sangat senang bisa melihat laut disana. apalagi ketika kakek Jhoni menawarkan untuk naik kapal layar, nenek teriak-teriak saat gelombang laut agak kencang, sementara kakek Jhoni tertawa-tawa saja.

Dipetang itu mereka makan malam didekat laut. kakek Jhoni memandangi wajah nenek Ifah yang sudah keriput.

"Kenapa tidak dari dulu ya kita seperti ini?" Tanya kakek Jhoni.

"Jangan ngomong kesana... kita sudah pada peot... hehehe" Ledek nenek Ifah.

"Saya sangat senang sakarang punya teman nenek-nenek..." Ucap kakek Jhoni.

"Saya juga senang punya teman kakek-kakek..." Ucap nenek Ifah

"Hahahahaha..." Mereka berdua tertawa berbarengan sambil menikmati makan malam.

****

Pagi itu kakek Jhoni pergi ketoko Mas, ia membeli dua cincin emas yang indah, setelah ia dapatkan ia bergegas pulang. ia langsung pergi kerumah nenek Ifah, namun sayang rumahnya terkunci. seseorang datang menghapiri kakek Jhoni.

"Nenek Ifah tadi pagi dibawa kerumah sakit, tadi ia manggil-manggil kakek terus... tapi sudah dibawa tetangga kesana..."

Kakek Jhoni bergegas minta diantarkan kerumah sakit. setiba disana ia melihat nenek Ifah berbaring lemah.

"Nenek... kamu sakit...?" Tanya kakek Jhoni, ia melihat air mata nenek mengalir.

"Sudah tua..." Ucap nenek Ifah.

"Jangan bicara seperti itu, kamu pasti sembuh... saya... saya udah beli dua cincin buat kita..." Ucap kakek Jhoni sedih.

"Kita sudah tua Jhoni... bukan remaja lagi..." Ucap nenek Ifah menangis.

"Tapi semenjak saya dekat dengan nenek, saya tak lagi kesepian..." Ucap kakek Jhoni sembab.

Nenek Ifah menangis deras. "Pakaikanlah cincin itu dijemari saya... setelah saya sembuh saya janji akan selalu menemani kakek Jhoni..."

Kakek Jhoni bergegas memasangkan cincin itu kejari manis nenek Ifah... namun setelah cincin itu dipasangkan, tiba-tiba nafas nenek tak beraturan...

"Nek... nenek Ifah....?" Panggil kakek Jhoni panik.

"Terima kasih, sudah buat diakhir hidup saya bahagia... pulanglah kesalah satu anakmu Jhoni... hiduplah bersama cucu-cucumu... saya sayang kakek Jhoni... maafkan saya kalau semejak kecil suka jahat sama kakek Jhoni... itu saya lakukan karena saya tak tahu harus bersikap apa disaat saya menyukai kakek Jhoni dulu, sampai saya menunggu kakek Jhoni selesai kuliah, namun orang tua saya sudah punya calon untuk saya... saya minta maaf, saya tahu kakek Jhoni menyukai saya dulu dari temen kakek Jhoni... terima kasih semuanya... terima kasih jalan-jalannya..." setes air mata terjatuh saat nenek Ifah menghembuskan nafas terakhir. kakek Jhoni menangis tersedu-sedu tiada henti.

"Jangan dulu pergi nek... jangan... saya juga menyayangi nenek Ifah... jangan pergi, saya tak punya siapa-siapa lagi sekarang... " Teriak kakek Jhoni sambil menangis.

Hening... semua berakhir sampai disini, kakek Jhoni sendirian lagi, melawan hidup sampai nanti, sampai ajalnya menanti.

Jakarta 11 September 2011

Kamis, 08 September 2011

(Cerpen) Saat Sendiri

Pernahkah engkau menginginkan saat untuk bisa sendiri tanpa siapapun? saat dimana engkau mengalami puncak kemelankolisan dalam hidup, membiarkan perasaan sedih menjalar ditubuhmu, mengharuskan mimik mukamu masam dan pucat, bilapun dirimu seorang laki-laki engkau menghendaki matamu melampiaskan semua kesedihanmu dengan air matanya, pernahkah? Jika pernah, itu yang aku alami saat ini, sesuatu yang tak aku inginkan namun dengan sendirinya mengalir melibatkan semua hidupku. Apalagi kalau bukan karena hati penyebabnya, ah... basi, tapi ini tak bisa untuk kupungkiri, cinta terpendam sekian lama dan kecemburuan yang buta, padanya sahabat perempuanku Pingkan dan kecemburuan melihatnya lebih akrab dengan Dion yang juga sahabatku. Ah... pelik.

Aku berdiri saja di lantai 10 Sky Dinning Plaza Semanggi sore itu, berdiri didekat meja-meja kafe menghadap hamparan luas kota Jakarta bersama gedung-gedung tingginya, memandang awan yang semakin menghitam dan membiarkan panas matahari sore itu menyengati kulit hitamku, aku merasa sepi disaat tempat itu sangat ramai kutemui mereka-mereka yang becengkrama memenuhi meja-meja kafe, aku ingin sendiri saat ini.

Sebuah SMS baru saja masuk ke HP ku, dari Pingkan.

"Ki... kita udah nungguin hampir dua jam nih buat ngebahas cerpen bertema Supranatural yang jadi tugas team kita minggu lalu, kamu dimana? Dion juga nunggu nih, ada kabar bagus, cerpennya dimuat di Anneka Yess..."

Aku tak membalasnya, satu sisi aku senang melihat cerpen Dion yang akhirnya bisa dimuat di majalah yang cukup tenar di Indonesia itu, tapi... fokusku bukan pada aktivitas ini, pada hati... susah untuk menjelaskan kecemburuan ini, dulunya aku begitu semangat menyelesaikan novelku selama tiga bulan ditemani Pingkan, dia juga sekaligus menjadi editor pribadiku, Pingkan banyak membatu membenahi tulisanku, tapi akhir-akhir ini ia tak begitu peduli lagi padaku, dia lebih akrab pada Dion, apa-apa semua curhatnya pada Dion tak lagi padaku, kadang mereka terlihat begitu akrab, sementara padaku Pingkan sudah terlhat kaku. aku menjadi tak begitu semangat lagi menulis.

Hpku berbunyi lagi.

"Pleas Ki... ayo cepet dateng kemarkas, Hp nya diangkat dong... " Sms dari Pingkan.

Aku menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan, tak tega bersikap seperti ini sebenarnya, tapi bila aku paksakan untuk hadir bersama mereka aku tak kuat menahan rasa cemburuku, dulu Pingkan lebih memilih naik angkot bersamaku, kini bila kemana-mana selalu Dion dan Dion. aku tak begitu peduli.

Aku beranjak pergi dari gedung perbelanjaan itu, sebuah tas yang kupenuhi dengan pakaianku dan perlatan lainnya kujinjing dengan lemah, didepan jalanan itu kunaiki metromini menuju stasiun, kubeli tiket jurusan kota Brebes, aku ingin pergi mengunjungi sahabat lamaku mas Budi, sudah kubilang dari awal, aku ingin menjauh, menyepi dan menyendiri...

Tak begitu kuperhatikan panorama alam dibalik jendela kaca Kereta, pandanganku lurus kedepan pikiranku entah kemana dan mataku kosong... aku ingin segera sampai kekota Brebes.

Tiba-tiba terkenang sebuah memory bersama Pingkan.

"Ki... kenapa kau tak pernah membuat cerpen atau novel tentang cinta? bukankah itu yang paling disukai di Indonesia ini?" Tanya Pingkan padaku.

Aku terdiam sesaat, setelah mendapatkan jawaban yang pas baru aku bicara padanya. " Yang terpenting dari sebuah karya itu adalah Inspirasi, Pesan yang ingin disampaikan dan minimal ada sesuatu yang bisa pembaca dapatkan setelah selesai membaca... aku bisa saja buat cerita cinta, tapi nanti setelah aku mendapatkan cinta itu dan merasakannya, bukannya bagusnya cerita itu juga berawal dari riset atau minimal penulisnya sudah pernah mengalaminya?" Ucapku ringan. Pingkan tersenyum lalu mengangguk.

"Memangnya sampai saat ini kau belum merasakan cinta?" Tanyanya.

Jantungku berdegup kencang, kupandangi wajah Pingkan yang ayu, kulihat matanya begitu sayu, detik ini, disaat dia bertanya seperti itu, mana mungkin aku bisa menjawabnya dengan jujur, karena jawabannya adalah aku sudah merasakan cinta itu, yaitu pada Pingkan, gadis yang sedang kupandangi.

"Ki... kamu nggak sedang melamunkan?" Ucap Pingkan melihatku aneh. aku baru tersadar bahwa aku sudah cukup lama belum menjawab pertanyaannya.

"Eh.... sepertinya belum." Jawabku tegas. kulihat mata Pingkan sedikit redup, aku tak tahu apa yang dia pikirkan saat itu.

Lamunanku buyar.  sebuah SMS kembali masuk, kali ini dari Dion.

"Bro... dimana lo? cerpen kita berdua udah pada jadi nih, tinggal kita diskusiin dan koreksi sama-sama... tau dah yang novelnya mau terbit bulan ini... kita tunggu sejam lagi ya? kalo nggak dateng juga kita caw..."

Aku diam saja tanpa ekspresi apapun membaca SMSnya.... lamunanku kembali buyar. terkenang kembali memory bersama Pingkan.

"Kemarin aku coba buat puisi... tentang kata hati, kamu mau denger nggak?" Tanya Pingkan padaku didepan kosanku. aku terdiam sesaat, hatiku bertanya untuk siapakah puisi kata hati itu? untukku kah? apakah Pingkan selama ini juga mencintaiku? jantungku deg-degan.

"Ki... kamu mau denger nggak?" Tnya Pingkan lagi. aku mengangguk sambil tersenyum. Pingkan mulai membaca puisi karyanya sendiri, hatiku gemetar hebat seolah-olah kata-kata itu untukku semua.

Hati yang diam...
Kapankah akan kau ketuk pada sebuah mulut agar ia mengucapnya...
Batu-batu tempatmu duduk dan berdiri memikirkannya sudah tak sabar ingin tahu kabarnya.
Bahkan rumput-rumput liarpun tak henti bergoyang menunggu kabar dari angin.

Bukankah aku seorang hawa...
Tak pantas Bila pertama mengungkap cinta
Tapi aku tak berdaya bagai ulat diatas daun yang pasrah dicengkram dan dibuang
menunggu, bagai tumbuhan menantikan hujan datang...

Ah...
Aku mencintainya...
Sekali ini dan selamanya...
Tak terganti...

kulihat mata Pingkan tiba-tiba sembab.

"Puisimu bagus sekali... buat siapa tuh?" Tanyaku ceplas ceplos. Pingkan memandangi mataku tajam, lama kemudian ia menjawab.

"Buat seseorang..." Ucap Pingkan lemah.

"Siapa memangnya?" Tanyaku penasaran, sesaat aku berpikir aku sudah gila memaksakan menayakan tentang rahasia hatinya, tapi aku ingin tahu, apa puisi itu untukku? bagaimana kalau buat yang lain? ha... aku tak siap merasakan sakit hati secara buta.

"Nanti kau akan tahu siapa jawabnya..." Ucap Pingkan lemah.

Dan semenjak itu, sepertinya pertanyaanku terjawab sudah, sepertinya puisi itu memang buat Dion. karena semenjak itu, Pingkan jauh lebih akrab dengan Dion dibanding aku, walau kita sering kemana-mana bertiga mencari inspirasi tulisan dan membahas cerpen hasil karya kita bertiga, tetap saja Pingkan selalu membutuhkan Dion dari segi apapun. tak lagi aku, bila Dion kerumahku, kadang ia habiskan waktu bertelponan dengan Pingkan, disaat telponnya selesai Dion langsung pulang dan begitupun Pingkan, ah.... aku merasa kalah. kecewa dan cemburu, karena aku sangat menyayangi Pingkan. sekali lagi kukatakan aku tak bisa melihat keakraban mereka dengan mataku langsung lagi.

****

Hampir tujuh jam lebih perjalanku diatas kereta api itu, akhirnya tiba juga dikota Brebes, mas Budi sahabat SMAku sudah menungguku di stasiun Brebes, aku senang ia menjembutku dengan becak milik ayahnya, kulihat diatas becaknya itu ada Santi kekasihnya yang sudah kukenal, karena tahun lalu aku juga pernah kesini, aku iri melihat kisah percintaan mas Budi dengan Santi, begitu sederhana namun begitu indah. diatas becak itu, kami bercerita bertiga sambil memandagi suasana kota Brebes dimalam hari, orang-orang bersepeda lalu lalang dijalanan, becak-becak dikayuh bebas di jalanan kota menjadi ciri khas tersendiri dikota ini. ah... aku sedikit mampu melupakan Pingkan.

esoknya mas Budi mengajakku kepantai Randu Sanga menaiki sepeda tua ayahnya, pantai yang sunyi namun seakan-akan memiliki nuansa mistis, airnya yang keruh namun masih memiliki panorama keindahan tersendiri, aku melamun.

"Ki... dari kemarin dateng, kayaknya wajahmu lagi mikirin sesuatu, mikirin apa sob?" Tanya mas Budi tiba-tiba. sambil memandangi ombak dipantai itu aku menarik nafas.

"Tentang cinta sob, sepertinya aku gagal dalam urusan ini, bahkan membuat kisahnya saja melewati cerpen atau novel aku tak mampu... ajari aku sob... ajari aku tentang cinta seperti keindahan cintamu dengan Santi...?" Ucapku tulus dan sedih.

Mas Budi terdiam lalu tersenyum.

"Cinta itu kejujuran sob, selalu menghadirkan kejujuran sampai dua insan masih saling mencintai... kejujuran akan perasaan, akan masalah-masalah pribadi dan semuanya... karena sejatinya semua orang setiap detiknya selalu menginginkan kejujuran hati dari setiap asangannya..." Ucap Mas Budi sambil melembar sesuatu ketengah-tengah ombak yang keruh.

Aku terdiam, memang selama ini salahku, tak pernah mau jujur akan perasaanku pada pingkan. hingga dia tak tahu dan akhirnya memilih Dion walau mereka belum resmi pacaran.

"Kita pulang sekarang mas Budi, aku mau pinjem bukumu dan pulpenmu... aku ingin menulis tentang cinta mas Budi... biar aku saja yang mengayuh sepedanya..." Ucapku, mas Budi hanya tersenyum, kukayuh sepeda tua itu untuk pulang kerumah mas Budi. setiba disana aku menulis sesuatu. menulis sebuah kisah cinta seperti yang Pingkan inginkan padaku. semalaman aku membuatnya, kuedit ulang lalu kurapihkan kata-katanya. mas Budi ngantuk-ngantuk menemaniku, esoknya  kami kerental, kuketik semua hasil karyaku itu lalu ku print. membungkusnya rapi dan kumasukkan dalam amplop. kubuat kisah yang berjudul "Saat Sendiri." lalu kukirimkan ke majalah melalui pos. aku menarik nafas lega setelah semuanya selesai.

Aku pulang, dan kembali mencoba untuk melanjutkan persahabatan kami bertiga antara aku, Pingkan dan Dion.  Hambar, setiap hari harus menahan kecemburuan dan gelisah, itu yang kualami hampir dua bulan ini semenjak melanjutkan kembali persahabatan kami, aku tak tahan lagi. aku sangat mencintaimu Pingkan,aku tak sanggup melihat keakraban kalian lagi, aku harus pergi dari kehidupan kalian, mungkin saatnya aku harus sendirian tanpa kalian lagi selamanya, aku ingin menulis tanpa kalian lagi, membuat karya-karya indah tanpa kalian lagi, sendiri di kampung halamanku Sumatera Selatan. kupikir tinggal dikampung dengan menjadi penulis Freelands dimajalah-majalh sudah cukup memenuhi kebutuhanku disana, sambil menunggu jawaban novel dari penerbit, memang aku harus menyepi kesana. kukemasi semua barang-barangku ditas. Pingkan datang dan terkejut melihat koper-koper besar dihalaman kosanku yang tertumpuk.

"Ki... kau mau kemana lagi?" Tanya Pingkan.

"Pulang kampung... selamanya..." Ucapku terbata-bata.

Mata Pingkan berkaca-kaca." Kenapa Ki... jangan tinggalin aku dan Dion... pleas, kami masih membutuhkanmu untuk karya-karya kami..."

Mendengar kata kami aku semakin ingin segera pergi. aku terdiam walau tak tahan melihat Pingkan menangis.

"Aku harus pulang..." Ucapku lagi.

"Apa alasannya?"

Aku terdiam, tiba-tiba aku mengeluarkan kata-kata dengan nada tinggi.

"Aku sendiri tak tahu apa alasannya... yang jelas aku harus pulang dan meninggalkan kota Jakarta ini," Ucapku kasar, tiba-tiba taksi yang kupesan untuk mengantarkanku keterminal Kalideres tiba, kumasukkan barang-barangku dibagasi belakang tanpa memperdulikan Pingkan. Pingkan terus menangis tanpa kata-kata lagi.

Hatiku bicara " Maafkan aku Pingkan, ini semua kulakukan karena ku tak bisa mlihat kalian bahagia berdua... aku sangat cemburu..."

aku masuk dalam taksi, tak lama kemudian Dion muncul dengan sepeda motornya.

Ia mengetuk pintu taksi. aku tak peduli, kudengar ucapannya yang keras.

"Mau kemana ki... aku melihat cerpenmu yang berjudul Saat Sendiri sudah ada di majalah Kawanku... tumben kau membuat tentang cinta?" Ucap dion keras... aku tak peduli, kusuruh supir taksi melajukan taksinya, kutinggalkan Dion dan Pingkan disana, mataku sembab.

"Maafkan aku yang tak bisa menerima kisah persahabatan kita yang terlanjur membuatku seperti ini..." Bisik hatiku.

Sesampainya di terminal Kalideres aku ragu untuk pulang, kubeli majalah Kawanku disana, kubaca ulang cerpenku yang diterbitkan di halaman 20... Saat Sendiri, ungkapan hatiku pada Pingkan, nama tokoh yang kutulis namaku sendiri dan nama Pingkan serta Dion, kisah tentang kecemburuanku. Andai Pingkan membacanya, ia akan tahu kenapa aku pergi meninggalkannya.

Mobil bus Sinar Dempo akan segera berangkat, koper-koperku sudah dimasukkan kebagasi oleh kenek, bus itu akhirnya melaju dan akan melintasi selat sunda dan Pulau Sumatera menuju kampung halamanku Lintang Empat Lawang, mataku masih sembab, sedih dan galau. di Bitung HPku berkali-kali berbunyi aku tak mengangkatnya. tiba-tiba sms Dion masuk.

"Jika kepergian lo hanya karena cemburu, sama seperti cerpenmu dimajalah ini, lo salah ki... kedekatan Pingkan sama gue selama ini hanya meluangkan kebingungan Pingkan akan perasaannya sama lo ki, dia sayang banget sama lo tapi dia bingung. dia deket sama gue hanya karena pengen curhat saja... tentang lo..."

Aku memberhentikan bus Sinar Dempo itu  saat akan memasuki tol menuju Merak, kuminta kenek untuk menurunkan semua barang-barangku, kucari taksi lalu aku kembali ke Jakarta, mengurungkan niatku untuk pulang kampung, berjam-jam, taksiku terhenti dihalaman rumah Pingkan, aku berdiri dihadapan pintu rumahnya. lama... kupencet bel rumahnya Pingkan tak muncul-muncul... tak lama kemudian Pingkan datang bersama Dion, ia turun dari motor. Pingkan terdiam dan menunduk diujung sana, aku malu menghampirinya. aku ingat kata-kata mas Budi sewaktu di Brebes tentang kejujuran Hati, mulutku susah sekali untukku gerakkan, akhirnya aku mengucapkan sesauatu yang selama ini tak pernah kuucapkan langsung.

"Maafkan aku Pingkan, selama ini aku menyimpan perasaanku padamu, aku... aku sayang kamu..." Ucapku terbata-bata, diujung sana Dion tersenyum-senyum malu mendengarnya.

"Jahat... bikin cerpen cinta nggak bilang-bilang tokoh namanya nama Pingkan langsung, pake samaran kek..." Ucap Pingkan mendekat kearahku sambil tersenyum malu.

"Kamu belum menjawab kata hatiku..." Ucapku.

"Ah... nggak usah terlalu didramatisir deh kayak dicerpen... jawabannya kan udah aku jawab melalui puisi yang dulu pernah aku bacakan langsung..." Ucap Pingkan mencoba bercanda untuk menutupi kata hatinya.

"Jadi nggak jadi pulang nih..." Ledek Dion.

Aku dan Pingkan tersenyum malu... tak tahu harus memulai hubungan dari mana... yang jelas hari itu aku bahagia... karena kejujuran... ya cinta butuh sebuah kejujuran....

Cikupa, 07 September 2011

Minggu, 21 Agustus 2011

(Cerpen) Jadi cenat cenut kayak Smash

Matahari bersembunyi dibalik awan hitam sore ini, jakarta terlihat gelap dan suram. di Pasaraya Tanah Abang aku duduk-duduk saja di Lobby timur, menghisap sebatang rokok yang kubeli sebatang dari pedagang asongan, ku perhatikan para kuli yang sering dipanggil potter oleh para penggila belanja di gedung ini, mereka masih sibuk padahal toko-toko sudah pada tutup, aku diam saja, memperhatikan alam pikiranku yang galau, galau karena tersiksa karena ulahku sendiri, memikirkan dia, gadis remaja yang masih duduk di kelas dua SMA, gadis berambut panjang dan cantik, namanya Lia, galau karena sudah dua bulan ini aku sengaja menghilang dari hidupnya, menon aktifkan FB dan Twitterku, HPku dan pindah kosan tanpa diketahuinya. ini semua karena dia, karena ulahnya yang membuatku jengkel. aku jengkel karena setiap kali bertemu tak pernah ada pembahasan lain selain Smash, Smash dan Smash... dia benar-benar penggila Boy Band yang sedang naik daun itu.

Bayangkan, setiap kali dia menelponku, tak pernah ada perhatiannya lagi seperti dulu, yang ada cuma kata-kata gossip mengenai Smash, aku masih ingat kata-katanya.

"Kakak... tadi aku ketemu Morgan di Mall... sumpah ganteng abis..., tau nggak kemarin aku beli posternya Smash, eh temen-temen aku pada suka... lucu banget posternya..."

Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan memaksakan diriku untuk mendengar semuanya tentang Smash dari mulutnya.

Seperti dihari itu ketika aku jatuh sakit, aku sudah senang dia datang menjengukku dan membawakanku sekantong plastik buah jeruk kesukaanku, padahal aku tak pernah mengizinkannya untuk memberi apa-apa padaku, lama aku menunggu perhatian darinya, seperti : " jangan lupa rajin minum obat, jaga kesehatan lain kali", atau apalah, eh dia malah langsung bergosip tentang Smash.

"Kakak, Morgan itu ganteng banget ya, ternyata kalo asli dia lebih ganteng dibanding di TV, oh ya aku udah punya kaos bergambar Smash lo, aku beli lima kaos sekaligus, nitip sih sama temen aku yang keBandung kemarin. kakak pengen denger lagunya Morgan gak versi mellownya, yang cinta cenat-cenut ada yang Mellow loh... asik banget dengernya..." Ucapnya yang tak sadar ternyata semua jeruk yang dia bawa habis olehnya sendiri. lagi-lagi aku bersabar dan bersabar.

Seperti di hari ulang tahunku dulu, aku sudah capek-capek izin sama mamanya untuk mengajak dia makan malam direstoran mahal, dan menabung selama enam bulan untuk bisa duduk dimeja makan teromantis seJakarta itu, lama aku menunggunya, sampai restoran itu mau tutup, sampai kue ulang tahun miniku berjamur dan lilinnya mau habis Lia tak muncul-muncul, aku menelponnya.

"Kamu dimana beb?" Tanyaku khawatir.

"Kakak, aku minta maaf, tiba-tiba aja temenku ngajakin nonton konser Smash di Karawaci, temenku bawa mobil, sumpaaaaaah kereeeen bangeeeetc kakak... gila dancenya itu loh kak bagus banget, Morgan cute banget malam ini, aku ampe nangis bisa meliohat mereka secara live... bla...bla...bla..." ucapnya berkicau.

Ku tutup telpon itu dengan sengaja, aku melamun, terdiam lemah, ini hari spesialku, bukannya dia mengucap selamat ulang tahun padaku malah sibuk membahas Smash, malam itu aku keluar dari restoran itu dengan kecewa, kutendang kaleng minuman dipinggir jalan sejauh mungkin, pakaian yang kupinjam secara memohon seperti budak pada raja untuk mendapatkannya kukotori dengan debu jalanan malam itu, dimana Lia yang dulu? kenapa semenjak hadirnya Smash di dunia pertelevisian membuat Lia berubah. tak ada rintik malam ini, ingin sekali aku berteriak dibawah hujan seperti di Film-film, adegan sedih seperti yang kurasa saat ini. ah... sudahlah.

Semenjak itu aku memutuskan untuk lari dari hidupnya, pindah kerja, pindah kos, ganti nomor dan ganti FB dan Twitter, didekatnya aku hanya jadi boneka mainannya yang mau diajak cerita ini itu tentang idolanya, aku tak bisa terus-terusan seperti itu. aku ingin cinta seperti dulu, saling memperhatikan dan saling memberi kebahagiaan.

Aku tak bisa memungkirinya, dua bulan ini aku tersiksa ternyata, tersiksa karena kerinduan, bagaimana kabarnya saat ini? aku benar-benar rindu dengan manjanya dia, rambut panjangnya, putih kulitnya dan bola matanya yang bening coklat. aku teringat saat pertama kali jadian dengannya, dia ingin membuktikan rasa sayangku padanya. iya malam itu aku masih mengingatnya.

"Kalau kakak bener-bener sayang sama lia dan ingin Lia terima cintanya, saat ini juga, tengah malam ini juga kakak kesini, cukup berdiri selama sepuluh menit didepan rumahku setelah itu pulanglah..."

Aku gemetar membaca sms itu, padahal kala itu aku sedang berada di kota Bogor, tengah malam ini aku harus kejakarta kerumahnya, aku bingung, kalo buka karena cinta ini aku tak mungkin membangunkan sepupuku yang sedang asyik mimpi indah untuk mengantarkan aku kesana dengan motor vespanya, alhasil dalam keadaan ngantuk ia terpaksa mengantarkan aku ke Jakarta, ia masih menggunakan pakain tidur, ia menggigil menyetir motornya, sementara aku dibelakangnya tersenyum sumringah, " Lia akan menerima cintaku..."

sejam setengah aku tiba didepan rumahnya, berdiri dihadapan pintu kamarnya, Lia menyalakan lampu kamar dan memandangiku lewat jendela dengan tersenyum, tak lama kemudian smsnya masuk.

"terimakasih I Love U kakak..."

Aku berteriak bahagia seakan-akan menang dalam perlombaan, sementara sepupuku manyun-manyun kedinginan.

Ah... kini semua menghilang, aku sendiri yang membuat semuanya menjadi seperti ini.

****

Malam ini Doni sahabatku datang membawa sebotol Coca cola dan keripik singkong, ia baru saja pulang dari Medan, aku manyun manyun saja karena merasa sedih.

"Ada kejutan buat lo dan Lia... nih tiket gratis nonton konser Smash di JCC... nyokap punya banyak tiket gratis..." Ucap Doni tiba-tiba.

"Udah nggak penting Don, Gue udah ninggalin Lia dua bulan ini..." Ucapku lemah.

"Whats... gue udah bantu lo jadian ma dia total, lo ninggalin dia gitu aja? ada apa sob... percuma dong gue muji-muji lo didepan dia biar dia makin cinta sama lo... ah, payah lo..." Ucap Doni sedikit marah.

"Gue bosen denger cerita dia tentang smash, dikit-dikit smah, dia udah nggak perhatian lagi ma gue..."

"Ah... lo kayak anak kecil, yang namanya cinta itu satu jiwa man, apa-apa yang disukai lia lo harus hargain, karena lia bagian dario hiduplo... karena Lia itu pacar lo..."

Aku terdiam... hanya diam mendegarkan nasehat Doni tentang percintaan semalaman, sampai dia bosan, sampai dia pamit pulang kerumahnya. setelah hanya aku dikamar kosku, kulihat gitar tetanggaku yang sudah seminggu ini menginap dikamarku, beserta buku musiknya, aku merasa bersalah pada Lia, kata-kata Doni banyak benarnya, aku memang egois, kayak anak kecil. ah.... aku rindu Lia... kuambil gitar itu dan kucari lagu Smash di buku musik, kunyanyikan dengan merdu mataku tiba-tiba sembab.

Kenapa hatiku cenat-cenut tiap ada kamu
Selalu peluh pun menetes setiap dekat kamu
Kenapa salah tingkah tiap kau tatap aku
Selalu diriku malu tiap kau puji aku

Kenapa lidahku kelu tiap kau panggil aku
Selalu merinding romaku tiap kau sentuh aku
Mengapa otakku beku tiap memikirkanmu
Selalu tubuhku lunglai tiap kau bisikkan cinta

You know me so well (you know me so well)
Girl i need you (girl i need you)
Girl i love you (girl i love you)
Girl i heart you
I know you so well (i know you so well)
Girl i need you (girl i need you)
Girl i love you (girl i love you)
Girl i heart you

Tahukah kamu saat kita pertama jumpa
Hatiku berkata padamu ada yang berbeda
Tahukah sejak kita sering jalan bersama
Tiap jam menit detikku hanya ingin berdua

Tahukah kamu ku takkan pernah lupa
Saat kau bilang kau punya rasa yang sama
Ku tak menyangka aku bahagia ingin ku peluk dunia
Kau izinkan aku tuk dapat rasakan cinta

You know me so well
Girl i need you (girl i need you)
Girl i love you (girl i love you)
Girl i heart you
I know you so well
Girl i need you (girl i need you)
Girl i love you (girl i love you)
Girl i heart you

Hatiku rasakan cinta, dia buatku salah tingkah
I know you so well, you know me so well
You heart me girl, i heart you back
I miss you, i love you, ah ah ah
I need you, i love you, i heart you baby
I need you, i love you, i heart you baby

Baby, you know me so well (you know me so well)
Girl i need you (girl i need you)
Girl i love you (girl i love you)
Girl i heart you
I know you so well (i know you so well)
Girl i need you (oh i need you)
Girl i love you (oh i love you)

Tak ada yang bisa memisahkan cinta
Waktu pun takkan tega
Kau dan aku bersama selamanya

Mataku semakin sembab, aku benar-benar merindukan Lia...

****

Sore itu, setelah pulang kerja, aku terkejut melihat seorang perempuan remaja berdiri mematung menghadap pintu kosanku. dari rambutnya aku kenal, tiba-tiba ia berbalik, ia gadis itu sudah sampai kesini, Lia.

"Kakak jahat, kakak tega ninggalin Lia gitu aja, kakak pikir Lia siapa, kakak bener-bener nggak ngerti gimana persaan Lia semnejak kakak menghilang...untung ada kak Doni, jadi tahu dimana kakak pergi..."

Aku hanya terdiam, ingin aku mendekatinya dan menghpus air matanya.

"Ngomong kak, kenapa? apa salah Lia? kalo emang ini semua karena kakak bosen dengerin Lia curhat tentang Smash, Lia udah ngebuang semua poster Smash dikamar, ngebuang semua baju Smash, walpaper Smash di HP dan semua tentang Morgan dan Smash udah Lia hapus... tapi kakak janji jangan tinggalin Lia lagi." Ucapnya sambil menangis.

Aku tak tega melihatnya menangis seperti itu, suasana dramatis tiba-tiba saja didukung oleh turunnya rintik-rintik, aku hanya diam dan diam tak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar merasa bersalah pada Lia. tiba-tiba saja Lia berlari kearahku, ia memelukku erat, sumpah baru kali ini aku menyentuh gadis ini, selama ini syangku padanya juga seperti sayangku pada adik sendiri. kedua tanganku kaku untuk memeluknya kembali, lia menangis dipelukanku.

"Jangan tinggalik aku lagi kak, Lia mohon..." Ucapnya terisak, rintik-rintik hujan terus berjatuhan.

"Kakak yang minta maaf, kakak udah kayak anak kecil, Lia nggak perlu ngebuang Smash dikehidupan Lia, selama itu menjadi warna hidup buat Lia lakukan aja... "

Ucapku pelan, Lia melepas pelukannya, ia menunduk.

"Iya... kalo gitu kenapa harus Lia buang semua... jadi nyesel deh ngebuang semuanya tentang smash... oh yak, tahu nggak... Lia udah ngedapetin semua tanda tangan tentang Smash lo... ini masih ada tanda tangannnya, sorry yang ini nggak bisa Lia buang soalnya Lia harus berhimpitan dengan bau keringat untuk ngedapetin tanda tangan ini..." Lia langsung terhenti saat aku menutup mulutnya dengan jari tanganku.

"Ada dua tiket gratis nonton konser Smash di JCC... siapkan dirimu, cari baju bagus minggu depan kita nonton berdua..."

Lia tak bisa berucap apa-apa lagi, kulihat ia begitu bahagia mendengarnya, tak lama kemudian hujan turun dengan deras, kami biarkan tubuh kami dibasahi hujan, untuk merayakan hubungan kami yang kembali dimulai...

Untuk Smash... thanks, udah ngebuatku sadar akan artinya belahan jiwa...

Jakarta, 2011

Jumat, 08 Juli 2011

Cinta ada tanpa kata

andai aja mata bisa berbicara..
mungkin aku hanya memandangmu..
melihatmu dan memberimu tanpa sesuatu..

andai mata bisa berbicara..
mungkin aku tak akan malu bisikan ini terdengar siapapun..
mungkin kata-kata ini akan tersimpan rapi dalam bilik hati yang tersembunyi..
dan mungkin juga gak pernah ada sakit ketika diam menyelimuti..

andai mata bisa berbicara..
semuanya mudah tanpa beban nada..
tanpa memendam gelisah di dada..
dan tanpa suara semua akan terjadi begitu saja..
mengalir apa adanya..
dan ketika cinta harus ada tanpa kata..
cinta itu akan selalu bersemayam dalam jiwa..

Aku ingin mencintainya karena-Mu

Ya Allah…
jika aku mulai mencintainya, ijinkan aku hanya diam..
Jika aku mulai berangan tentangnya, ijinkan aku memendam..
jika aku mulai berharap banyak akan hidupnya, ijinkan aku untuk memadamkan..
rasa ini sungguh bagiku memalukan..

Aku punya apa yang tak ia punya..
aku rasa apa yang tak ia rasa..
aku bilang pembodohan dalam cinta..
dia bilang ini anugerah darimu wahai sang penguasa rasa..
aku ingin memendamnya dalam jiwa..
dia ingin mengungkapkan yang tak kuharap ada..

Ya Allah..
perbaikilah semuanya..
dekatkan aku, jika dia bertaqwa..
dekatkan aku, jika dia mampu membawaku dalam singgasananya..
Singgasananya para mailakat yang Kau cinta..

Ya Allah..
Aku ingin mencintainya karenaMu..
aku hanya ingin memilikinya atas izinmu..
jauhkan dia dariku kalau memang tak pantas untukku..
tapi ijinkan aku menikmati sendiri ini dalam bisu..
tanpa ada yang tau, Kecuali Engkau sang maha mengetahui..
Karena Cintaku hanya ingin mengharap Ridhomu..

Jumat, 20 Mei 2011

(Cerpen) Euis dan Cintanya pada ustad Mujab

Kupandangi bunga-bunga yang bermekaran indah dihalaman asrama putriku, sambil menunggu sholat Ashar tiba. Wajah itu tak pernah lepas dari bayanganku, wajah indah bermata sendu dan berkulit putih, dia adalah guru ngajiku sewaktu aku kecil dikampung halamanku, malu rasanya bila ingat itu, aku sekecil itu sudah mengagumi seorang ustad muda yang baru lulus mesantren ditempat yg sekarang aku sekolah. Namanya ustad Mujab.Aku sendiri bingung, apa yang membuatku bisa jatuh cinta padanya, padahal aku masih kecil kala itu, sampai-sampai aku ingin berjilbab seperti kakakku Nisa. Mungkin ini karena teteh sering membacakan novel romantis ayat-ayat cinta disetiap menjelang tidurku, ah... Aku merasa seperti Maria yang sangat mengagumi Fahri.

Setiap kali abah mengantarkan aku mengaji di mushola tempat ustad Mujab tinggal sekaligus membina pengajian anak-anak, aku suka sibuk sendiri, sibuk untuk memberikan penampilan terbaik, abah kadang bingung dan terheran-heran melihat tingkahku.

"Euis... Cepetan, penggajiannya sudah dimulai." Teriak abah.

"Sebentar abah..." Jawabku yang masih memilih-milih pakaian untuk mengaji. Ku cari peralatan kecantikan teteh Nisa, kupoles wajahku dengan bedak tipis dan lipstik pinknya, saat aku keluar abah terkejut dan matanya melotot.

"Euis... Nanaonan sia? Mau ngaji apa mau keacara ulang tahun?" Tanya abah sedikit marah.

"Kata ustad Mujab jadi perempuan harus indah harus selalu menjaga penampilan dan kesucian abah..." Jelasku ingin tertawa.

"Ya Allah, manehteh masih kecil Euis. Ya udah hayuk, nanti terlambat.

Sehabis Ashar itu abah membawaku dengan sepeda tuanya, sambil memandangi pohon-pohon karet yang berbaris rapi, aku membayangkan wajah ustad mujab, tak sabar rasanya untuk menghadap dan membacakan Ikraku yang sudah kulancarkan membacanya semalaman. Aku ingin ustad mujab kagum melihat bacaan Ikraku yang bagus.Ah, ustad mujab sampai saat ini aku masih memikirkanmu. Apa kabarmu dikampung halaman kita? Apa kau masih setia mengajar ngaji di Mushola didekat sungai Cisadane Rumpin Bogor? Disini dipondok yang pernah kau menuntut ilmu di kota Magelang ini aku masih mencintaimu?

Aku masih ingat, saat pengajian sudah usai, aku sengaja mendekati ustad Mujab.

"Ustad, Euis boleh tanya nggak" tanyaku sedikit centil.

"Boleh Euis, mau tanya apa?"

"Pernah baca novel ayat-ayat cinta nggak ustad? Teteh Nisa sering membacakannya untukku." Wajah ustad langsung bingung, ia lalu tersenyum.

"Jangan panggil ustad Euis, panggil Aa aja, Aa teh baru lulus mesantren belum layak dipanggil ustad,"

Aa, aku langsung terbang ustad Mujab ingin aku memanggilnya Aa,"Oh, yaudah kalau gitu Euis manggilnya Aa aja kalau begitu."

"Novel itu Aa suka banget."

Pulangnya aku merasa terbang diatas aspal, tak kusadari lagi bahwa aku sedang berada diboncengan sepeda abah. Aku merasa terbang bersama kuda putih yang bersayap.

Sesampainya dirumah aku mengambil kertas surat teteh yang bermotif bunga, kutulis surat cinta pertamaku untuk ustad Mujab. Surat pendek hanya satu paragraf.

"Ustad, jika ustad bersedia menunggu, maukah kau menjadi Fahriku disuatu saat nanti"

Tanpa kutulis namaku, kulipat kertas itu lalu kuambil sebuah amplop diatas meja belajar teteh Nisa.Esoknya aku sudah tak sabar untuk memberikan surat itu pada Ustad Mujab.Berhari-hari aku menunggu balasan dari Ustad Mujab, tapi tak ada balasan sampai aku lulus SD dan SMP. Aku berpikir mungkin aku masih kecil atau mungkin Ustad Mujab ingin menungguku ketika aku lulus SMA nanti.

Akupun memaksa abah untuk masuk kepesantren ditempat ustad mujab belajar, ketika aku lulus SMP.Dengan berat hati abah dan umipun mengizinkan. Sebelum berangkat kugoes sepeda tua abah menuju mshola abah, kulihat ustad Mujab sedang menyiram tanaman sayuran disamping mushola. Air mataku mengalir deras memandangnya dari kejauhan. Ustad Mujab memandangiku, ia melambaikan tangannya, aku terus menangis, aku sangat berat berpisah dengannya, sudah banyak yang ia ajarkan tentang agama padaku. Aku ingin menjadi wanita sholeha agar bisa menjadi istri ustad ketika dewasa nanti, tak perduli ustad sudah berumur jauh dariku.Kuhapus air mataku, akupun tak kuasa menemuinya, aku kembali menaiki sepeda abah, kugoes dan akupun pergi.

"Euis...Euis..." Teriak ustad memanggilku dan mengejarku. Aku berhenti.

"Euis, salam sama guru-guruku nanti disana ya? Ini, disana kau akan menggunakannya." Ucapnya sambil memberikan lima buku bertulis arab tebal-tebal padaku. Aku mengambilnya.

"Hati-hati disana" Aku terharu, tak kuasa lagi menahan tangis, akupun langsung pulang, disepanjang perkebunan karet itu aku menangis lagi. Itu untuk terakhir kalinya aku melihatnya. Ah ustad Mujab, cinta itu masih tumbuh sampai detik ini, dimana aku sebentar lagi Ujian Nasional, aku tak sabar lagi ingin melihatmu lagi di musholamu. Tak peduli berapa umurmu saat ini.

Hari itu,hari terakhir aku dipondok, abah tak menjemputku. Ia mengirim surat bahwa abah sedang sibuk mengurus pernikahan teteh Nisa, abah hanya mengirimkan uang dan menyuruhku pulang sendiri. Sedih rasanya, apalagi tak bisa menghadiri pernikahan teteh Nisa.Akupun pulang, tak sabar rasanya ingin segera bertemu keluarga, lebih-lebih ingin melihat ustad Mujab.

Setelah menepuh perjalanan jauh, abah menjemputku di Parung, abah sudah punya motor, aku hanya menangis dan memeluk abah erat-erat, dia pahlawanku, seorang guru pegawai negeri yang sederhana. Aku tak banyak tanya, aku hanya menangis saja.Setiba dirumah umi langsung memelukku. Aku melihat-lihat sepeda tua abah, masih ada dan masih seperti dulu, abah pandai juga merawat barang-barangnya.Belum sempat masuk aku langsung mengambil sepeda, aku sudah tak sabar ingin menemui ustad Mujab.

"Euis mau kemana?" Tanya umi.

"Jalan-jalan umi... Kangen dengan nuansa desa Ranca Pinggan..." Teriakku.Kukayuh sepeda abah dengan kencang, jilbabku berkibar-kibar tertiup anging. Perkebunan karet masih seindah dulu. Sepedaku terhenti, diujung sana kulihat mushola ustad Mujab, air mataku terjatuh, rinduku sungguh luar biasa padanya. Kuhempaskan sepedaku dan aku langsung berlari menuju moshola. Kosong, tak ada ustad Mujab disana, Musholanya sudah bagus, dicat dengan warna hijau muda dan dipenuhi kaligrafi yang indah. Aku berdiri ditengah-tengah mushola. Melihat tumpukan buku Ikra. Aku teringat semuanya saat kecil bersamanya.Lama, ustad Mujab tak terlihat juga, akupun pulang.

Setiba dirumah, aku terkejut, ustad Mujab bearada dirumahku, disamping teteh Nisa sambil tersenyum. Air mataku meleleh, diruang tamu itu kulirik photo pernikahan teteh Nisa bersama seorang laki-laki yang tak asing bagiku. Iya sangat tidak asing karena bertahun-tahun laki-laki itu selalu bersamaku, ia selalu ikut kemana pergiku, menemaniku kemana ku berada, ustad Mujab kini menjadi milik teteh Nisa.Aku mencoba tersenyum walau air mata ingin mengalir deras, tak ingin menangis meski air mata terpaksa terjatuh, untuk pertama kalinya aku merasakan sakit hati yang luar biasa, serasa tak sanggup namun aku mencoba tetap tegar, berusaha tersenyum walau terpaksa.

"Teteh... Ternyata teteh nikahnya sama ustad Mujab. Euis jadi punya kakak ipar ustad dong?" Ucapku sambil meneteskan air mata.

"Kan sekarang teteh juga punya adik cantik calon ustadzah..."Sekali lagi ku tersenyum walau masih mencoba.

"Sudah disampaikan salamku sama guru-guru Aa disana?"

Tanya Ustad Mujab.Mendengar kata Aa aku seperti mau pingsan, kata itulah yang pertama membuatku seperti kehilangan masa-masa kecil yg seharusnya banyak bermain dan belajar, aku malah memikirkan cinta yg tak seharusnya ada diumur sekecil itu. Kini aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mungkin pasrah dan menyimpan rasa ini dalam-dalam dan membuangnya kelaut merah sana. Lalu apa ustad tak pernah mengerti dengan surat pertamaku, apa mungkin ustad menyangka surat itu bukan dariku malah dari teteh Nisa? Aku tak tahu.Aku langsung menyalami mereka dan masuk kekamarku, kukunci dan tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menangis.Sebuah Novel tergeletak dimeja belajarku yang masih terawat karena kamarku sering diurus umi, Novel baru milik teteh Nisa, sambil berlinangan air mata, kubuka novel itu, kubaca sebuah puisi didalamnya.

"Sebesar apapun kau menginginkan cinta, meski sebesar Zhulaika pada Nabi Yusuf, jika tuhan tidak memilihkannya untukmu jangan bersedih dan jangan merasa duniamu sempit. Tak semua awan hitam itu menakutkan, pasti celah perak meski sedikit, ingatlah... Sebenarnya dibalik itu semua tuhan sedang menyiapkan yg terbaik buat kita. Bahkan yang lebih baik dari yang kita inginkan"

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya, kukatakan dalam hatiku"Aku ikhlas meski ustad Mujab tak jadi milikku, kutunggu penggantinya ya Allah, yang lebih tampan, lebih shaleh dan lebih baik. آمِيْن يَا رَب الْعَالَمِيْن